I. IDENTITAS CERPEN
Judul cerpen : Menanti Kematian
Penulis
cerpen : Jujur Prananto
Jumlah
halaman : 6 halaman
Tebal
buku : -
Penerbit : Kompas
Tahun
terbit : 26 February 2009
II. SINOPSIS CERPEN
Jujur
Prananto merupakan cerpenis yang cukup piawai dalam menyajikan sebuah cerita
pendek. Alur yang disajikan oleh Jujur dalam setiap karyanya membuat para
pembaca begitu menikmati dan enggan berhenti di tengah cerita. Bahasa yang
digunakannyapun simple dan sederhana sehingga membuat karya-karyanya menjadi
digandrungi para pembaca.
Di
dalam salah satu cerpen karya Jujur, yaitu “Menanti Kematian” dikisahkan
seorang pria yang dibuat rumit antara pilihan mengejar masa depan atau berbakti
kepada orang tua.
Budiman
adalah seorang pria yang sempat tergoda oleh tawaran kerja di perusahaan minyak
di Negara Dubai. Pekerjaan ini sangat diharapkan oleh Budiman, karena dengan
adanya pekerjaan ini Budiman dapat membayar hutang-hutangnya yang telah
menumpuk sekian lama dan dia tidak perlu kerepotan lagi menghadapi para penagih
hutang. Akan tetapi pada kondisi yang sama, ayah Budiman terbaring sakit di
rumah sakit dan tidak sadarkan diri. Kondisi ayahnya yang begitu parah membuat
Budiman menjadi tidak tega meninggalkanya sendiri. Akan tetapi seorang penagih
rentenir terus-menerus memaksanya untuk pergi ke Dubai.
Sebuah
ending yang mengejutkan dan tidak disangka oleh pembaca dibuat oleh Jujur dalam
cerita ini. Disaat para pembaca menanta-nanti keputusan Budiman antara menunggu
ayahnya yang sedang sakit atau menerima pekerjaan di Dubai, akan tetapi Budiman
membutuat sesuatu yang mengejutkan. Budiman tidak pergi ke Dubai maupun
menunggu ayahnya yang sedang sakit, Budiman menemui ajalnya sendiri di malam
keberangkatanya ke Dubai.
Dalam
cerita ini penulis menegaskan pesan kepada para pembaca, bahwa ajal datang tak
pernah diduga. Budiman yang memiliki umur lebih muda dari ayahnya ternyata
harus meninggalkan dunia lebih cepat dari ayahnya.
III.
PENILAIAN
Menulis
sebuah karya tulis apalagi cerpen dibutuhkan sebuah imajinasi yang bisa membuat
sebuah karya tersebut menjadi hidup sewaktu dibaca dan tidak terlupakan setelah
dibaca. Di dalam menulis cerpenpun harus diperhatikan unsur-unsur intrinsiknya, walaupun pembaca awam tidak begitu
memperhatikan hal-hal tersebut akan tetapi orang-orang yang mengerti baik akan
hal itu tentunya akan sangat memperhatikannya.
Cerpen
milik Jujur Prananto yang berjudul “Menanti Kematian” dikemas begitu apik
dengan kepiawaian sang penulis dalam membuat sebuah alur cerita yang sangat
menarik. Di cerpen ini di gambarkan seorang tokoh utama yang tak terduga bisa
meninggal di akhir cerita. Pembaca tidak memikirkan hingga kesana, mereka hanya
mengikuti alur cerita yang dibuat olah penulis. Sebuah ending yang mengejutkan
ini tentunya menjadi sebuah kelebihan dalam cerpen “Menanti Kematian”. Selain
itu, penggunaan bahasa dan pemililahan diksi yang sederhana membuat cerpen ini
mudah dipahami dan dimengerti maksudnya.
Akan
tetapi tidak semua karya tulis itu sempurna, pasti ada beberapa kelemahan yang
terselip di dalamnya, begitu pula dalam cerpen ini. Sebenarnya secara
keseluruhan cerpen ini telah tersusun dengan bagus,tapi ada beberapa hal yang
membuat cerpen ini kurang menarik. Salah satunya adalah pemilihan nama pada
tokoh-tokoh yang terdapat di dalam cerpen tersebut. Nama-nama yang tidak
menjaman membuat cerpen ini kurang menarik bagi kalangan remaja. Selain itu
amanat yang diberikan dalam cerpen juga susah dicerna, bagi orang yang tidak
mengerti akan ini hanya menganggap sebagai becaan biasa. Pedahal cerpen ini
mengandung pesan yang begitu dalam, dimana kita harus bisa menentukan sebuah
keputusan sebelum keputusan dari Tuhan menentukan hidup kita.
Berikut
ini adalah unsur –unsur intrinsic yang terdapat di dalam cerpen “Menanti
Kematian” karya Jujur Prananto :
1. Tema
: Kehidupan dan kematian
2. Alur : Campuran
Cerpen ini menceritakan dari
awal saat Budiman diterima kerja akan tetapi di tengah-tengah cerita
diceritakan masa lalu budiman.
3. Setting
3.1. Suasana
1.1.1 Gembira
“Bud, ada kabar gembira…”
1.1.2 Berkabung “…innalillahi…”
1.1.3 Kaget
“si penagih hutang itu…!”
3.2. Waktu
3.2.1 Malam “Menjelang tengah malam Budiman
pulang kerja…”
“pukul sebelas menjelang
tengah malam.
3.3. Tempat
3.3.1 Rumah sakit “Budiman
meninggalkan ruang administrasi rumah-sakit..”
3.3.2
Kamar perawatan ” Budiman lalu kembali ke kamar perawatan…”
3.3.3 Rumah “Segera setelah sampai rumah, ayah Budiman kembali tak
sadarkan”
4.
Tokoh/Penokohan
4.1 Budiman -> berjiwa
kemunusiaan “dia sendiri yang bisa merawat
bapaknya selama tiga tahun terakhir ini..”
4.2 sarkawi -> masa bodoh ”Urusan bapakmu bukan urusanku. Urusanku cuma nagih utang..”
5. Majas
5.1 Personifikasi ”..Hatinya menangis..” ; “dengan sirene
meraung-raung melesat kencang…”
6. Amanat
6.1 Walaupun orang tua kita
sudah tidak berdaya lagi kita harus tetap berbakti kepadanya, karena karena
merakalah kita ada di dunia ini.
6.2 Kita tidak boleh
mengatur-atur urusan pribadi orang lain meskipun orang itu memiliki urusan
tarhadap kita.
6.3 Semua masalah pasti akan
ad jalan keluarnya targantung sampai mana kita mampu bertahan menghadapi
masalah itu.
VI. MANFAAT
Membaca
adalah suatu aktivitas yang memiliki banyak manfaat. Dengan membaca kita bisa
memperoleh sebuah informasi dalam bacaan tersebut. Tidak hanya itu, dalam
membaca kita juga mendapatkan hiburan dan juga dapat mengistirahatkan otak
sejenak dari berbagai rutinitas yang biasa kita lakukan.
Membaca
cerita pendek tentunya tidaklah asing bagi kita, sebuah cerita yang bisa dibaca
dalam beberapa menit saja akan tatapi memiliki banyak pelajaran berharga bagi
kehidupan.
“Menanti
Kematian” cerpen karya Jujur Prananto
juga memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia. Di dalam cerpen ini, tokoh
utama dihadapkan oleh sebuah pilihan yang sangat sulit dan sangat berpengaruh
bagi masa depanya. Dan akhirnya dia memilih sebuah keputusan yang seharusnya
tidak dia pilih, yaitu kematian. Tentu saja kita sebagai pembaca yang mengerti
baik dan buruk harus dapat memilahkan mana yang pantas dicontoh atau yang
tidak. Kita dapat mengambil pelajaran bahwa sesulit-sulitnya sebuah keputusan
yang kita ambil, kematian bukanlah keputusan yang terbaik untuk dipilih.
Cerpen
ini juga menggambarkan betapa berbaktinya anak kapada ayahnya, dia rela
melepaskan pekerjaanya demi menjaga ayahnya yang sedang sakit parah. Tidak
hanya itu, di dalam cerpen ini kita juga bisa melihat orang yang begitu tabah
dalam menghadapi cobaan, yang tentunya kita bisa meniru sikap terpujinya itu.
Mungkin
masih banyak lagi beberapa pesan moral yang terdapat dalam cerpen tarsebut yang
tidak bisa dijelaskan di dalam sini.
Semoga saja dengan membaca cerpen ini kita memperoleh manfaat yang dapat
kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari.
V. UNSUR EKSTRINSIK
·
Biografi
Penulis
Jujur Prananto adalah penulis yang berasal
dari Salatiga, beliau lahir pada tanggal 30 Juni 1960.Karir pendidikan yang dia
raih di bidang sinematografi membuatnya menjadi salah satu penulis terbaik di
Indonesia. Banyak sekali tulisan-tulisan beliau yang dimuat di media, salah
satunya adalah cerpen yang berjudul “MENANTI KEMATIAN” yang dimuat dalam surat
kabar harian Kompas pada 26 February 2009 lalu. Setelah itu, dia juga meraih
penghargaan-penghargaan besar, seperti Penghargaan Piala Vidia, Penghargaan
Film Bandung sebagain penulis scenario terbaik, dan masih banyak lagi. Selain
cerpen Perjalanan Dua Pencari Alamat, Jujur juga telah menciptakan karya-karya
baik lainnya, seperti Titik Hitam, Ada apa dengan Cinta, Petualangan 100 Jam,
Cintapuccino, Petualangan Sherina, serta film yang sangat terkenal di Indonesia,
yaitu Doa yang Mengancam.
Beliau adalah cerpenis yang sangat piawai
dalam mengolah alur cerita yang dia buat. Itulah yang membuat karya tulis Jujur
Prananto mendapatkan begitu banyak penghargaan. Sikapnya yang sederhana, tidak
sombong dan ramah menjadikan beliau sebagai inspirasi para pemuda dalam
mengeluarkan bakatnya dalam menulis.
·
Nilai-nilai
Cerpen adalah sebuah karya sastra yang di
dalamnya tedapat nilai-nilai kehidupan yang ditujukan penulis kepada pembaca agar
pembaca dapat memahami nilai-nilai kehidupan yang kadang tidak dipedulikan
dalam kehidupan nyata.
Nilai-nilai yang terkandung dalam cerpen
“Menanti Kematian” sangatlah beraneka ragam. Di dalam cerpan ini terdapat nilai
social, nilai religious, nilai kemanusiaan, dan masih banyak lagi.
Nilai social yang terdapat dalam cerpen ini
adalah kepedulian para warga sekitar rumah Budiman terhadap ayah Budiman.
Mereka berbondong-bondong datang untuk mendo’akan agar ayah Budiman mendapatkan
yang terbaik baginya. Ini juga bisa disebut sebagai nilai religious.
Sedangkan nilai kemanusiaan yang terdapat
dalam cerpen ini adalah ketika Budiman dengan setia merawat ayanhnya selama
bertahun-tahun. Tanpa rasa bosan dia terus menjaga ayahnya, walaupun dia harus
hidup sengsara dia tetap berada disisi ayahnya.
Itulah beberapa nilai-nilai yang dapat kita
ambil dalam cerpan “Menanti Kematian” karya Jujur Prananta.
VI. LAMPIRAN
Menanti Kematian
”Budiman!
Ada kabar gembira! Lamaran kamu diterima! Bulan depan kamu bisa mulai kerja!
Dengan gaji pokok per bulan lima-belas juta! Berarti tidak lama lagi kamu
bakalan terbebas dari utang-utang kamu. Terbebas dari teror para penagih utang
yang selama berbulan-bulan mengejar ke mana pun kamu pergi.”
“Memang
aku diterima kerja di mana?”
”Perusahaan
minyak, Bud! Di Dubai, Timur-Tengah!”
Budiman
seketika terdiam. Temannya yang bekerja di agen tenaga kerja itu dibiarkannya
terus bicara di telepon dengan penuh semangat. Tentang gambaran masa depan yang
sangat cerah. Tentang jaminan kesejahteraan yang sudah jelas membayang di depan
mata. Tentang sekian tahun lagi pulang ke Indonesia sebagai orang kaya….
Tetapi,
Budiman tak lagi menyimaknya. Perhatiannya lebih terarah ke sosok pria renta
yang berbaring lemah di hadapannya. Dengan selang oksigen menempel di hidung.
Dengan cairan infus mengalir lewat jarum yang menancap di pergelangan tangan.
Dengan mata mengatup rapat. Dan kulit wajah yang pucat.
”Budiman?
Halo? Tolong secepatnya saja kamu bikin paspor. Aku bisa bantu bikin surat
pengantar buat mengurus visa…. Halo?”
”Ya,
ya. Aku pikir-pikir dulu.”
”Pikir-pikir???
Setelah bertahun-tahun kerja serabutan dengan pendapatan enggak nyampe sejuta
sebulan kamu masih pikir-pikir juga untuk menerima pekerjaan yang jelas-jelas
cocok buat kamu sebagai sarjana perminyakan?”
”Memang
kapan aku harus berangkat?”
”Paling
lambat sebulan dari hari ini.”
Sebulan….
Berarti ia masih punya waktu tiga puluh hari untuk bisa menemani bapaknya.
Setelah itu? Tak terbayang bagaimana bapaknya yang berumur delapan puluh
delapan tahun ini tergolek sendirian di rumah sakit tanpa seorang pun
sanak-saudara menemaninya.
Ya,
tak seorang pun. Karena hanya dia sendiri yang bisa merawat bapaknya selama
tiga tahun terakhir ini. Ketiga saudara kandungnya bertempat tinggal jauh dari
Jakarta. Kakak sulung bekerja di perkebunan kelapa sawit di Malaysia, yang
hanya bisa sekali setahun pulang ke Indonesia. Kakak nomor dua bekerja di kapal
pesiar yang menjalani rute Amerika-Eropa, tak pernah berkesempatan pulang
kampung sampai kelak masa kontraknya habis. Dan adik perempuannya kawin dengan
orang Filipina setelah dua tahun bekerja di sebuah restoran di Manila dan
kemudian tinggal di sana. Sedangkan saudara-saudara sepupu yang tinggal di
Jakarta hanya kadang saja berkunjung pada waktu lebaran.
Dulu,
waktu masih bekerja di perusahaan ekspedisi di Tanjung Priok, dan istrinya
masih tinggal serumah dengannya, ia bisa menggaji seorang perawat delapan ratus
ribu per bulan untuk merawat bapaknya.
Tetapi,
serangkaian musibah telah mengacaukan segalanya.
Tak
lama setelah ia meminjam uang perusahaan seratus juta lebih untuk membayar uang
muka pembelian rumah, perusahaan itu bangkrut. Mantan bosnya memaksakan
pengembalian semua piutang paling lama enam bulan. Tak ayal, dalam kondisi
menganggur Budiman pontang-panting membayar sekaligus utang ke mantan bosnya
dan cicilan kredit pemilikan rumah. Istrinya tak tahan diteror para preman
penagih utang, lalu memilih pulang kampung bersama anak- anak dan melupakan
begitu saja mertuanya yang tak berdaya. Sekian bulan kemudian ia terpaksa
menyerahkan rumahnya ke bank lalu pindah ke sebuah kontrakan kecil. Sejak itu
ia tinggal berdua dengan bapaknya, bertahan hidup dari penghasilan kerja
serabutan ditambah kiriman uang dari kedua kakaknya yang datangnya tak menentu
dan nilainya tak seberapa.
Budiman
bisa mempertahankan kondisi ini sampai setahun, dua tahun, tiga tahun…. Sampai
sebulan dua puluh tujuh hari yang lalu.
Menjelang
tengah malam Budiman pulang kerja, menjumpai bapaknya terkapar di lantai kamar
mandi dengan sebagian kaki tersandar di dudukan kloset. Banyak yang menduga
ayah Budiman terpeleset saat hendak berdiri seusai buang air besar. Dokter
menyatakan ayah Budiman mengalami stroke.
”Keluarga
pasien Bapak Suharso!”
Budiman
berdiri dan berjalan menghampiri petugas bagian keuangan.
”Sampai
kemarin malam total biaya sembilan juta lima ratus dua puluh tujuh rupiah, di
luar obat-obatan yang ditebus langsung ke apotek.”
”Dikurangi
deposit tiga juta, berarti harus tersedia dana enam setengah juta lebih,” kata
Budiman dalam hati. Itu kalau bapaknya sudah boleh pulang hari ini. Padahal
tidak. Perawatan masih harus berjalan entah sampai kapan.
Budiman
meninggalkan ruang administrasi rumah-sakit dengan langkah lesu. Tetapi, lalu
terhenti oleh sebuah panggilan yang serasa sangat dikenalnya.
”Budiman!”
Budiman
menoleh. Tubuhnya seketika lemas. Si penagih utang itu….!
Pria
berbadan gempal bernama Sarkawi ini menghampiri Budiman, tersenyum menyeringai
dan mengajak bersalaman, tapi lebih seperti mau meremukkan tulang telapak
tangan Budiman. ”Dunia ternyata sempit, ya,” katanya sambil terkekeh. ”Selamat,
dapet kerjaan bagus di luar negeri.”
Budiman
terperanjat. ”Tahu dari mana?”
”Enggak
penting aku tahu dari mana. Yang penting, enggak lama lagi kamu bisa mulai
ngumpulin duit buat bayar utang. Tiap bulan kamu bisa transfer ke istri kamu,
jadi aku tinggal nagih sama dia. Jangan mengira aku enggak tahu istri kamu
sekarang tinggal di mana.”
Budiman
mengembuskan napasnya keras-keras. ”Jangan terlalu yakin saya mau menerima
kerjaan itu.”
”Kenapa???”
”Saya
enggak bisa ninggalin Bapak saya sendirian….”
”Urusan
bapakmu bukan urusanku. Urusanku cuma nagih utang. Pokoknya dua bulan dari
sekarang aku mau mulai menagih ke istri kamu.”
Si
penagih utang ngeloyor pergi. Budiman mengejarnya. ”Heh! Jangan ganggu lagi
istri saya!”
”Terserah
kamu mau mbelain bapakmu atau istrimu. Kalau aku jadi kamu, aku pasti pilih
mbelain istri. Urusan Bapak, sewa aja perawat. Tiap bulan tinggal kamu transfer
gajinya dari luar negeri. Aku yakin bapakmu enggak peduli mau dirawat sama
anaknya atau bukan. Belum tentu juga dia ingat sama kamu. Lha wong sadar aja
enggak.”
Sepeninggal
Sarkawi, lama Budiman terdiam. Hatinya menangis, tetapi bukan karena prihatin
terhadap kondisi bapaknya, melainkan menangisi diri sendiri kenapa ia bisa
mulai membenarkan omongan Sarkawi.
Budiman
lalu kembali ke kamar perawatan. Beberapa saat ia menatap wajah bapaknya,
menggenggam tangannya, dan berbisik dalam hati….
”Maaf,
Pak. Tidak lama lagi saya mau ke luar negeri. Saya harus kerja, Pak. Akan saya
sediakan satu perawat khusus untuk merawat Bapak….”
Budiman
lalu beranjak pergi. Tetapi, menjelang keluar pintu….
”Bud….”
Budiman
terperanjat dan seketika menoleh. Tangan bapaknya bergerak-gerak. Kepalanya
sedikit meneleng. Budiman bergegas mendekat. ”Bapak…?”
Secara
samar dan lirih terdengar kata-kata terucap dari mulut bapaknya. ”Pulang, Bud…
Bapak mau pulang….”
”Tapi,
Bapak belum sembuh.”
”Penuhi
saja keinginan bapakmu, Bud.”
Lagi-lagi
Budiman terperanjat. Sarkawi seperti tiba-tiba saja sudah ada di belakangnya,
lalu berbisik, ”Ini yang namanya tanda-tanda, Bud. Kakekku dulu juga begitu.
Masuk rumah sakit, lama dirawat tapi enggak sembuh-sembuh, terus minta pulang,
enggak lama kemudian meninggal dunia di rumah sendiri.”
”Jangan
sembarangan ngomong!”
”Sssst….
Memang kamu enggak merasa semua ini seperti sudah diatur sama yang di atas?
Kalau bapakmu pulang ke rumah terus meninggal, memang begitu kan yang kamu
harapkan? Supaya kamu bisa lega berangkat ke luar negeri?”
Budiman
hendak berteriak marah, tetapi keburu terdengar bapaknya berbisik lagi.
”Pulang, Bud…. Pulang….”
Segera
setelah sampai rumah, ayah Budiman kembali tak sadarkan diri. Budiman panik dan
hendak segera membawanya kembali ke rumah-sakit, tetapi Sarkawi sigap
mencegahnya.
”Memang
apa yang kamu harapkan dengan membawa bapakmu kembali ke rumah sakit? Supaya
sadar lagi? Supaya sembuh? Terus kamu bingung lagi gimana harus berangkat ke
luar negeri?”
Kali
ini Budiman benar-benar marah dan mendorong tubuh Sarkawi. ”Kamu ini memang
sama-sekali enggak punya perasaan!!!”
”Kamu
yang enggak punya perasaan! Jelas-jelas bapakmu bilang mau pulang, kamu tetap
ngotot juga mau mengembalikan ke rumah-sakit.”
”Kita
harus berusaha semaksimal mungkin untuk menolong Bapak!”
”Yang
kamu maksud ’kita’ itu siapa? Kamu? Dokter-dokter di rumah-sakit? Kalau orang
rumah-sakit sih seneng-seneng saja bapakmu terus dirawat. Makin lama dirawat
makin banyak duit masuk. Kalau makin parah, mereka tinggal bilang: masuk ICU!
Makin banyak lagi duit masuk. Tapi, setelah itu apa sudah pasti bapakmu bakalan
sembuh? Enggak, kan? Umpama bapakmu sembuh, apa bukan gantian kamu yang sekarat
karena stres harus cari duit buat bayar rumah sakit? Umpama bapakmu meninggal
apa rumah-sakit terus mau ngasih diskon? Enggak juga, kan? Paling-paling kita
dikasih omongan pelipur-lara: kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi
ternyata yang di atas berkehendak lain…”
”Diaaaam!!!”
Nyatanya
Budiman mengikuti saran Sarkawi: membiarkan bapaknya tinggal di rumah. Sehari…
dua hari… empat hari… seminggu…. Belum ada yang berubah atas diri bapak
Budiman. Dadanya masih bergerak naik-turun meski sangat tipis. Dari hidungnya
masih terembus tiupan napas meski sangat lemah….
”Jangan
lupa, Bud. Lima hari lagi kamu berangkat ke Dubai!”
Rombongan
anggota pengajian berdatangan ke rumah Budiman. Siang malam mereka berdoa,
memohon agar ayah Budiman diringankan penderitaannya dan segera dipilihkan
jalan terbaik untuknya. ”Kalau Engkau masih ingin memberinya kesembuhan, segera
berilah kesembuhan, ya Allah. Kalau Engkau ingin memanggilnya, panggilah dia dalam
keadaan bersih jasmani dan rohani.”
Tetapi,
ayah Budiman tetap saja bergeming. Sampai hari keenam belas… hari ketujuh
belas… hari kedelapan belas….
”Tiket
pesawat sudah di-booking, Bud. Besok lusa kamu tinggal berangkat ke bandara!”
Sebuah
ambulans dengan sirene meraung-raung melesat kencang dan kemudian berhenti di
depan rumah Budiman. Saat itu jam menunjukkan pukul sebelas menjelang tengah
malam.
”Budiman!
Kok enggak diangkat? Sudah tidur? Besok pagi kita ketemu di bandara, ya. Jangan
sampai telat”
Ketua
RT berikut belasan warga tergopoh-gopoh menyambut para petugas medis dan
mempersilakan mereka masuk ke dalam rumah. Seorang dokter segera mengambil
stetoskop dan melakukan pemeriksaan jantung dan lainnya.
”Sudah
meninggal,” ucap dokter pelan.
Para
hadirin serentak bergumam, ”Innalillahi…..”
Ketua
RT menghampiri ayah Budiman, mendekatkan mulutnya ke telinga pria tua ini,
tetapi begitu sulit untuk memulai bicara. ”Budiman, Pak….”
Ayah
Budiman perlahan membuka matanya.
”Mana
Budiman…? Kenapa dia?”
-TAMAT-
0 komentar:
Posting Komentar