Jumat, 07 Februari 2014

Resensi Cerpen ''Menanti Kematian'' karya Jujur Pranonto

I. IDENTITAS CERPEN

Judul cerpen            :           Menanti Kematian
Penulis cerpen         :           Jujur Prananto
Jumlah halaman      :           6 halaman
Tebal buku                :           -
Penerbit                     :           Kompas
Tahun terbit              :           26 February 2009
 


II. SINOPSIS CERPEN

Jujur Prananto merupakan cerpenis yang cukup piawai dalam menyajikan sebuah cerita pendek. Alur yang disajikan oleh Jujur dalam setiap karyanya membuat para pembaca begitu menikmati dan enggan berhenti di tengah cerita. Bahasa yang digunakannyapun simple dan sederhana sehingga membuat karya-karyanya menjadi digandrungi para pembaca.
Di dalam salah satu cerpen karya Jujur, yaitu “Menanti Kematian” dikisahkan seorang pria yang dibuat rumit antara pilihan mengejar masa depan atau berbakti kepada orang tua.
Budiman adalah seorang pria yang sempat tergoda oleh tawaran kerja di perusahaan minyak di Negara Dubai. Pekerjaan ini sangat diharapkan oleh Budiman, karena dengan adanya pekerjaan ini Budiman dapat membayar hutang-hutangnya yang telah menumpuk sekian lama dan dia tidak perlu kerepotan lagi menghadapi para penagih hutang. Akan tetapi pada kondisi yang sama, ayah Budiman terbaring sakit di rumah sakit dan tidak sadarkan diri. Kondisi ayahnya yang begitu parah membuat Budiman menjadi tidak tega meninggalkanya sendiri. Akan tetapi seorang penagih rentenir terus-menerus memaksanya untuk pergi ke Dubai.
Sebuah ending yang mengejutkan dan tidak disangka oleh pembaca dibuat oleh Jujur dalam cerita ini. Disaat para pembaca menanta-nanti keputusan Budiman antara menunggu ayahnya yang sedang sakit atau menerima pekerjaan di Dubai, akan tetapi Budiman membutuat sesuatu yang mengejutkan. Budiman tidak pergi ke Dubai maupun menunggu ayahnya yang sedang sakit, Budiman menemui ajalnya sendiri di malam keberangkatanya ke Dubai.
Dalam cerita ini penulis menegaskan pesan kepada para pembaca, bahwa ajal datang tak pernah diduga. Budiman yang memiliki umur lebih muda dari ayahnya ternyata harus meninggalkan dunia lebih cepat dari ayahnya.






III. PENILAIAN

Menulis sebuah karya tulis apalagi cerpen dibutuhkan sebuah imajinasi yang bisa membuat sebuah karya tersebut menjadi hidup sewaktu dibaca dan tidak terlupakan setelah dibaca. Di dalam menulis cerpenpun harus diperhatikan unsur-unsur  intrinsiknya, walaupun pembaca awam tidak begitu memperhatikan hal-hal tersebut akan tetapi orang-orang yang mengerti baik akan hal itu tentunya akan sangat memperhatikannya.
Cerpen milik Jujur Prananto yang berjudul “Menanti Kematian” dikemas begitu apik dengan kepiawaian sang penulis dalam membuat sebuah alur cerita yang sangat menarik. Di cerpen ini di gambarkan seorang tokoh utama yang tak terduga bisa meninggal di akhir cerita. Pembaca tidak memikirkan hingga kesana, mereka hanya mengikuti alur cerita yang dibuat olah penulis. Sebuah ending yang mengejutkan ini tentunya menjadi sebuah kelebihan dalam cerpen “Menanti Kematian”. Selain itu, penggunaan bahasa dan pemililahan diksi yang sederhana membuat cerpen ini mudah dipahami dan dimengerti maksudnya.
Akan tetapi tidak semua karya tulis itu sempurna, pasti ada beberapa kelemahan yang terselip di dalamnya, begitu pula dalam cerpen ini. Sebenarnya secara keseluruhan cerpen ini telah tersusun dengan bagus,tapi ada beberapa hal yang membuat cerpen ini kurang menarik. Salah satunya adalah pemilihan nama pada tokoh-tokoh yang terdapat di dalam cerpen tersebut. Nama-nama yang tidak menjaman membuat cerpen ini kurang menarik bagi kalangan remaja. Selain itu amanat yang diberikan dalam cerpen juga susah dicerna, bagi orang yang tidak mengerti akan ini hanya menganggap sebagai becaan biasa. Pedahal cerpen ini mengandung pesan yang begitu dalam, dimana kita harus bisa menentukan sebuah keputusan sebelum keputusan dari Tuhan menentukan hidup kita.
Berikut ini adalah unsur –unsur intrinsic yang terdapat di dalam cerpen “Menanti Kematian” karya Jujur Prananto :
1.    Tema        : Kehidupan dan kematian
2.    Alur           : Campuran
Cerpen ini menceritakan dari awal saat Budiman diterima kerja akan tetapi di tengah-tengah cerita diceritakan masa lalu budiman.
3.    Setting
3.1.  Suasana
1.1.1     Gembira        “Bud, ada kabar gembira…”
1.1.2      Berkabung “…innalillahi…”       
1.1.3     Kaget            “si penagih hutang itu…!”
3.2. Waktu
3.2.1 Malam “Menjelang tengah malam Budiman pulang kerja…”
                     “pukul sebelas menjelang tengah malam.
3.3. Tempat
3.3.1 Rumah sakit Budiman meninggalkan ruang administrasi rumah-sakit..”
3.3.2 Kamar perawatan ” Budiman lalu kembali ke kamar perawatan…”
3.3.3 Rumah  Segera setelah sampai rumah, ayah Budiman kembali tak sadarkan”
4.      Tokoh/Penokohan
4.1 Budiman -> berjiwa kemunusiaan  dia sendiri yang bisa merawat bapaknya selama tiga tahun terakhir ini..”
4.2  sarkawi  -> masa bodoh  ”Urusan bapakmu bukan urusanku. Urusanku cuma nagih utang..”
5.       Majas
5.1 Personifikasi            ”..Hatinya menangis..” ; “dengan sirene meraung-raung melesat kencang…”
6.       Amanat
6.1 Walaupun orang tua kita sudah tidak berdaya lagi kita harus tetap berbakti kepadanya, karena karena merakalah kita ada di dunia ini.
6.2 Kita tidak boleh mengatur-atur urusan pribadi orang lain meskipun orang itu memiliki urusan tarhadap kita.
6.3 Semua masalah pasti akan ad jalan keluarnya targantung sampai mana kita mampu bertahan menghadapi masalah itu.







VI. MANFAAT

Membaca adalah suatu aktivitas yang memiliki banyak manfaat. Dengan membaca kita bisa memperoleh sebuah informasi dalam bacaan tersebut. Tidak hanya itu, dalam membaca kita juga mendapatkan hiburan dan juga dapat mengistirahatkan otak sejenak dari berbagai rutinitas yang biasa kita lakukan.
Membaca cerita pendek tentunya tidaklah asing bagi kita, sebuah cerita yang bisa dibaca dalam beberapa menit saja akan tatapi memiliki banyak pelajaran berharga bagi kehidupan.
“Menanti Kematian” cerpen karya  Jujur Prananto juga memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia. Di dalam cerpen ini, tokoh utama dihadapkan oleh sebuah pilihan yang sangat sulit dan sangat berpengaruh bagi masa depanya. Dan akhirnya dia memilih sebuah keputusan yang seharusnya tidak dia pilih, yaitu kematian. Tentu saja kita sebagai pembaca yang mengerti baik dan buruk harus dapat memilahkan mana yang pantas dicontoh atau yang tidak. Kita dapat mengambil pelajaran bahwa sesulit-sulitnya sebuah keputusan yang kita ambil, kematian bukanlah keputusan yang terbaik untuk dipilih.
Cerpen ini juga menggambarkan betapa berbaktinya anak kapada ayahnya, dia rela melepaskan pekerjaanya demi menjaga ayahnya yang sedang sakit parah. Tidak hanya itu, di dalam cerpen ini kita juga bisa melihat orang yang begitu tabah dalam menghadapi cobaan, yang tentunya kita bisa meniru sikap terpujinya itu.
Mungkin masih banyak lagi beberapa pesan moral yang terdapat dalam cerpen tarsebut yang tidak bisa dijelaskan di dalam sini.  Semoga saja dengan membaca cerpen ini kita memperoleh manfaat yang dapat kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari.







V. UNSUR EKSTRINSIK


·                        Biografi Penulis
Jujur Prananto adalah penulis yang berasal dari Salatiga, beliau lahir pada tanggal 30 Juni 1960.Karir pendidikan yang dia raih di bidang sinematografi membuatnya menjadi salah satu penulis terbaik di Indonesia. Banyak sekali tulisan-tulisan beliau yang dimuat di media, salah satunya adalah cerpen yang berjudul “MENANTI KEMATIAN” yang dimuat dalam surat kabar harian Kompas pada 26 February 2009 lalu. Setelah itu, dia juga meraih penghargaan-penghargaan besar, seperti Penghargaan Piala Vidia, Penghargaan Film Bandung sebagain penulis scenario terbaik, dan masih banyak lagi. Selain cerpen Perjalanan Dua Pencari Alamat, Jujur juga telah menciptakan karya-karya baik lainnya, seperti Titik Hitam, Ada apa dengan Cinta, Petualangan 100 Jam, Cintapuccino, Petualangan Sherina, serta film yang sangat terkenal di Indonesia, yaitu Doa yang Mengancam.
Beliau adalah cerpenis yang sangat piawai dalam mengolah alur cerita yang dia buat. Itulah yang membuat karya tulis Jujur Prananto mendapatkan begitu banyak penghargaan. Sikapnya yang sederhana, tidak sombong dan ramah menjadikan beliau sebagai inspirasi para pemuda dalam mengeluarkan bakatnya dalam menulis.


·         Nilai-nilai
Cerpen adalah sebuah karya sastra yang di dalamnya tedapat nilai-nilai kehidupan yang ditujukan penulis kepada pembaca agar pembaca dapat memahami nilai-nilai kehidupan yang kadang tidak dipedulikan dalam kehidupan nyata.
Nilai-nilai yang terkandung dalam cerpen “Menanti Kematian” sangatlah beraneka ragam. Di dalam cerpan ini terdapat nilai social, nilai religious, nilai kemanusiaan, dan masih banyak lagi.
Nilai social yang terdapat dalam cerpen ini adalah kepedulian para warga sekitar rumah Budiman terhadap ayah Budiman. Mereka berbondong-bondong datang untuk mendo’akan agar ayah Budiman mendapatkan yang terbaik baginya. Ini juga bisa disebut sebagai nilai religious.
Sedangkan nilai kemanusiaan yang terdapat dalam cerpen ini adalah ketika Budiman dengan setia merawat ayanhnya selama bertahun-tahun. Tanpa rasa bosan dia terus menjaga ayahnya, walaupun dia harus hidup sengsara dia tetap berada disisi ayahnya.
Itulah beberapa nilai-nilai yang dapat kita ambil dalam cerpan “Menanti Kematian” karya Jujur Prananta.



VI. LAMPIRAN


Menanti Kematian

”Budiman! Ada kabar gembira! Lamaran kamu diterima! Bulan depan kamu bisa mulai kerja! Dengan gaji pokok per bulan lima-belas juta! Berarti tidak lama lagi kamu bakalan terbebas dari utang-utang kamu. Terbebas dari teror para penagih utang yang selama berbulan-bulan mengejar ke mana pun kamu pergi.”
“Memang aku diterima kerja di mana?”
”Perusahaan minyak, Bud! Di Dubai, Timur-Tengah!”
Budiman seketika terdiam. Temannya yang bekerja di agen tenaga kerja itu dibiarkannya terus bicara di telepon dengan penuh semangat. Tentang gambaran masa depan yang sangat cerah. Tentang jaminan kesejahteraan yang sudah jelas membayang di depan mata. Tentang sekian tahun lagi pulang ke Indonesia sebagai orang kaya….
Tetapi, Budiman tak lagi menyimaknya. Perhatiannya lebih terarah ke sosok pria renta yang berbaring lemah di hadapannya. Dengan selang oksigen menempel di hidung. Dengan cairan infus mengalir lewat jarum yang menancap di pergelangan tangan. Dengan mata mengatup rapat. Dan kulit wajah yang pucat.
”Budiman? Halo? Tolong secepatnya saja kamu bikin paspor. Aku bisa bantu bikin surat pengantar buat mengurus visa…. Halo?”
”Ya, ya. Aku pikir-pikir dulu.”
”Pikir-pikir??? Setelah bertahun-tahun kerja serabutan dengan pendapatan enggak nyampe sejuta sebulan kamu masih pikir-pikir juga untuk menerima pekerjaan yang jelas-jelas cocok buat kamu sebagai sarjana perminyakan?”
”Memang kapan aku harus berangkat?”
”Paling lambat sebulan dari hari ini.”
Sebulan…. Berarti ia masih punya waktu tiga puluh hari untuk bisa menemani bapaknya. Setelah itu? Tak terbayang bagaimana bapaknya yang berumur delapan puluh delapan tahun ini tergolek sendirian di rumah sakit tanpa seorang pun sanak-saudara menemaninya.
Ya, tak seorang pun. Karena hanya dia sendiri yang bisa merawat bapaknya selama tiga tahun terakhir ini. Ketiga saudara kandungnya bertempat tinggal jauh dari Jakarta. Kakak sulung bekerja di perkebunan kelapa sawit di Malaysia, yang hanya bisa sekali setahun pulang ke Indonesia. Kakak nomor dua bekerja di kapal pesiar yang menjalani rute Amerika-Eropa, tak pernah berkesempatan pulang kampung sampai kelak masa kontraknya habis. Dan adik perempuannya kawin dengan orang Filipina setelah dua tahun bekerja di sebuah restoran di Manila dan kemudian tinggal di sana. Sedangkan saudara-saudara sepupu yang tinggal di Jakarta hanya kadang saja berkunjung pada waktu lebaran.
Dulu, waktu masih bekerja di perusahaan ekspedisi di Tanjung Priok, dan istrinya masih tinggal serumah dengannya, ia bisa menggaji seorang perawat delapan ratus ribu per bulan untuk merawat bapaknya.
Tetapi, serangkaian musibah telah mengacaukan segalanya.
Tak lama setelah ia meminjam uang perusahaan seratus juta lebih untuk membayar uang muka pembelian rumah, perusahaan itu bangkrut. Mantan bosnya memaksakan pengembalian semua piutang paling lama enam bulan. Tak ayal, dalam kondisi menganggur Budiman pontang-panting membayar sekaligus utang ke mantan bosnya dan cicilan kredit pemilikan rumah. Istrinya tak tahan diteror para preman penagih utang, lalu memilih pulang kampung bersama anak- anak dan melupakan begitu saja mertuanya yang tak berdaya. Sekian bulan kemudian ia terpaksa menyerahkan rumahnya ke bank lalu pindah ke sebuah kontrakan kecil. Sejak itu ia tinggal berdua dengan bapaknya, bertahan hidup dari penghasilan kerja serabutan ditambah kiriman uang dari kedua kakaknya yang datangnya tak menentu dan nilainya tak seberapa.
Budiman bisa mempertahankan kondisi ini sampai setahun, dua tahun, tiga tahun…. Sampai sebulan dua puluh tujuh hari yang lalu.
Menjelang tengah malam Budiman pulang kerja, menjumpai bapaknya terkapar di lantai kamar mandi dengan sebagian kaki tersandar di dudukan kloset. Banyak yang menduga ayah Budiman terpeleset saat hendak berdiri seusai buang air besar. Dokter menyatakan ayah Budiman mengalami stroke.
”Keluarga pasien Bapak Suharso!”
Budiman berdiri dan berjalan menghampiri petugas bagian keuangan.
”Sampai kemarin malam total biaya sembilan juta lima ratus dua puluh tujuh rupiah, di luar obat-obatan yang ditebus langsung ke apotek.”
”Dikurangi deposit tiga juta, berarti harus tersedia dana enam setengah juta lebih,” kata Budiman dalam hati. Itu kalau bapaknya sudah boleh pulang hari ini. Padahal tidak. Perawatan masih harus berjalan entah sampai kapan.
Budiman meninggalkan ruang administrasi rumah-sakit dengan langkah lesu. Tetapi, lalu terhenti oleh sebuah panggilan yang serasa sangat dikenalnya.
”Budiman!”
Budiman menoleh. Tubuhnya seketika lemas. Si penagih utang itu….!
Pria berbadan gempal bernama Sarkawi ini menghampiri Budiman, tersenyum menyeringai dan mengajak bersalaman, tapi lebih seperti mau meremukkan tulang telapak tangan Budiman. ”Dunia ternyata sempit, ya,” katanya sambil terkekeh. ”Selamat, dapet kerjaan bagus di luar negeri.”
Budiman terperanjat. ”Tahu dari mana?”
”Enggak penting aku tahu dari mana. Yang penting, enggak lama lagi kamu bisa mulai ngumpulin duit buat bayar utang. Tiap bulan kamu bisa transfer ke istri kamu, jadi aku tinggal nagih sama dia. Jangan mengira aku enggak tahu istri kamu sekarang tinggal di mana.”
Budiman mengembuskan napasnya keras-keras. ”Jangan terlalu yakin saya mau menerima kerjaan itu.”
”Kenapa???”
”Saya enggak bisa ninggalin Bapak saya sendirian….”
”Urusan bapakmu bukan urusanku. Urusanku cuma nagih utang. Pokoknya dua bulan dari sekarang aku mau mulai menagih ke istri kamu.”
Si penagih utang ngeloyor pergi. Budiman mengejarnya. ”Heh! Jangan ganggu lagi istri saya!”
”Terserah kamu mau mbelain bapakmu atau istrimu. Kalau aku jadi kamu, aku pasti pilih mbelain istri. Urusan Bapak, sewa aja perawat. Tiap bulan tinggal kamu transfer gajinya dari luar negeri. Aku yakin bapakmu enggak peduli mau dirawat sama anaknya atau bukan. Belum tentu juga dia ingat sama kamu. Lha wong sadar aja enggak.”
Sepeninggal Sarkawi, lama Budiman terdiam. Hatinya menangis, tetapi bukan karena prihatin terhadap kondisi bapaknya, melainkan menangisi diri sendiri kenapa ia bisa mulai membenarkan omongan Sarkawi.
Budiman lalu kembali ke kamar perawatan. Beberapa saat ia menatap wajah bapaknya, menggenggam tangannya, dan berbisik dalam hati….
”Maaf, Pak. Tidak lama lagi saya mau ke luar negeri. Saya harus kerja, Pak. Akan saya sediakan satu perawat khusus untuk merawat Bapak….”
Budiman lalu beranjak pergi. Tetapi, menjelang keluar pintu….
”Bud….”
Budiman terperanjat dan seketika menoleh. Tangan bapaknya bergerak-gerak. Kepalanya sedikit meneleng. Budiman bergegas mendekat. ”Bapak…?”
Secara samar dan lirih terdengar kata-kata terucap dari mulut bapaknya. ”Pulang, Bud… Bapak mau pulang….”
”Tapi, Bapak belum sembuh.”
”Penuhi saja keinginan bapakmu, Bud.”
Lagi-lagi Budiman terperanjat. Sarkawi seperti tiba-tiba saja sudah ada di belakangnya, lalu berbisik, ”Ini yang namanya tanda-tanda, Bud. Kakekku dulu juga begitu. Masuk rumah sakit, lama dirawat tapi enggak sembuh-sembuh, terus minta pulang, enggak lama kemudian meninggal dunia di rumah sendiri.”
”Jangan sembarangan ngomong!”
”Sssst…. Memang kamu enggak merasa semua ini seperti sudah diatur sama yang di atas? Kalau bapakmu pulang ke rumah terus meninggal, memang begitu kan yang kamu harapkan? Supaya kamu bisa lega berangkat ke luar negeri?”
Budiman hendak berteriak marah, tetapi keburu terdengar bapaknya berbisik lagi. ”Pulang, Bud…. Pulang….”
Segera setelah sampai rumah, ayah Budiman kembali tak sadarkan diri. Budiman panik dan hendak segera membawanya kembali ke rumah-sakit, tetapi Sarkawi sigap mencegahnya.
”Memang apa yang kamu harapkan dengan membawa bapakmu kembali ke rumah sakit? Supaya sadar lagi? Supaya sembuh? Terus kamu bingung lagi gimana harus berangkat ke luar negeri?”
Kali ini Budiman benar-benar marah dan mendorong tubuh Sarkawi. ”Kamu ini memang sama-sekali enggak punya perasaan!!!”
”Kamu yang enggak punya perasaan! Jelas-jelas bapakmu bilang mau pulang, kamu tetap ngotot juga mau mengembalikan ke rumah-sakit.”
”Kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk menolong Bapak!”
”Yang kamu maksud ’kita’ itu siapa? Kamu? Dokter-dokter di rumah-sakit? Kalau orang rumah-sakit sih seneng-seneng saja bapakmu terus dirawat. Makin lama dirawat makin banyak duit masuk. Kalau makin parah, mereka tinggal bilang: masuk ICU! Makin banyak lagi duit masuk. Tapi, setelah itu apa sudah pasti bapakmu bakalan sembuh? Enggak, kan? Umpama bapakmu sembuh, apa bukan gantian kamu yang sekarat karena stres harus cari duit buat bayar rumah sakit? Umpama bapakmu meninggal apa rumah-sakit terus mau ngasih diskon? Enggak juga, kan? Paling-paling kita dikasih omongan pelipur-lara: kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi ternyata yang di atas berkehendak lain…”
”Diaaaam!!!”
Nyatanya Budiman mengikuti saran Sarkawi: membiarkan bapaknya tinggal di rumah. Sehari… dua hari… empat hari… seminggu…. Belum ada yang berubah atas diri bapak Budiman. Dadanya masih bergerak naik-turun meski sangat tipis. Dari hidungnya masih terembus tiupan napas meski sangat lemah….
”Jangan lupa, Bud. Lima hari lagi kamu berangkat ke Dubai!”
Rombongan anggota pengajian berdatangan ke rumah Budiman. Siang malam mereka berdoa, memohon agar ayah Budiman diringankan penderitaannya dan segera dipilihkan jalan terbaik untuknya. ”Kalau Engkau masih ingin memberinya kesembuhan, segera berilah kesembuhan, ya Allah. Kalau Engkau ingin memanggilnya, panggilah dia dalam keadaan bersih jasmani dan rohani.”
Tetapi, ayah Budiman tetap saja bergeming. Sampai hari keenam belas… hari ketujuh belas… hari kedelapan belas….
”Tiket pesawat sudah di-booking, Bud. Besok lusa kamu tinggal berangkat ke bandara!”
Sebuah ambulans dengan sirene meraung-raung melesat kencang dan kemudian berhenti di depan rumah Budiman. Saat itu jam menunjukkan pukul sebelas menjelang tengah malam.
”Budiman! Kok enggak diangkat? Sudah tidur? Besok pagi kita ketemu di bandara, ya. Jangan sampai telat”
Ketua RT berikut belasan warga tergopoh-gopoh menyambut para petugas medis dan mempersilakan mereka masuk ke dalam rumah. Seorang dokter segera mengambil stetoskop dan melakukan pemeriksaan jantung dan lainnya.
”Sudah meninggal,” ucap dokter pelan.
Para hadirin serentak bergumam, ”Innalillahi…..”
Ketua RT menghampiri ayah Budiman, mendekatkan mulutnya ke telinga pria tua ini, tetapi begitu sulit untuk memulai bicara. ”Budiman, Pak….”
Ayah Budiman perlahan membuka matanya.
”Mana Budiman…? Kenapa dia?”



-TAMAT-

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar